Belajar Menyikapi Konflik
Oleh KH. Abdullah Gymnastiar
Wahai saudaraku, saat ini yang kita butuhkan untuk negeri ini tiada lain ialah kedamaian. Mengapa? Sebab dengan begitu, negeri ini akan makin terkelola dengan baik. Sebaliknya, jikalau yang tampak dihadapan kita hanya pertengkaran demi pertengkaran, apa yang akan kita peroleh? Misalkan negeri ini seperti rumah yang megah, dilengkapi kamar yang mewah, kasur yang empuk, plus asesoris yang mahal-mahal, namun anggota keluarganya terus bertengkar, apa yang akan kita dapat? Cobalah kita renungkan!
Kalau kita renungkan dalam-dalam, salah satu sebab terjadi pertengkaran -- hingga ke taraf kecil sekalipun -- adalah karena kita belum terbiasa menyikapi perbedaan dengan cara yang tepat. Mentalitas kita tidak siap menerima perbedaan. Dengan begitu, perbedaan terlihat sebagai bentuk permusuhan -- bukan rahmat. Berbeda pendapat saja sering dianggap sebagai bentuk perlawanan atau ancaman. Akibatnya, kita sibuk membenarkan pendapat sendiri tanpa mau mengaca diri pada pendapat orang lain.
Sebagai contoh kecil saja, seorang anak merasa dirinya benar ketika hendak memilih jodoh atau sekolahnya sendiri. Sedangkan orangtua di satu sisi merasa benar pula dalam memilihkan jodoh dan sekolah untuk masa depan anaknya. Dalam posisi semacam ini dapat kita tebak, jika dihadapkan, akan terjadi pertengkaran kalau masing-masing merasa paling benar. Begitulah, setiap orang yang tidak pernah "melatih diri" untuk memahami perbedaan pendapat, maka hasilnya adalah: emosional.
Sebab, terasa sekali sebuah pertikaian, pertengkaran, itu muncul karena satu pihak mengklaim diri sebagai yang benar. Contohnya, tawuran antar kampung. Satu mulai melempar batu, dibalas melempar batu. Satu mulai mengeroyok, dibalas lagi dengan saling mengeroyok. Sepele. Dengan alasan itu semacam itu maka bisa terjadi saling balas, saling serang hingga pembakaran. Ujung-ujungnya bisa terlihat: korban bermunculan. Yang cacat, yang terbunuh, sampai hari-hari yang terlewati dipenuhi dengan perasaan was-was. Apa untungnya kehidupan semacam ini? Padahal hidup kita di dunia ini cuma sekali. Haruskah kita hidup dalam kondisi semacam ini?
Banyak cara sebenarnya untuk meminimalisir pertengkaran atau konflik. Saya mencatat paling tidak empat hal yang perlu ada dalam diri kita sebelumnya dalam menyikapi hal tersebut.
Pertama, kita harus belajar bijak terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain. Dalam hal menyikapi kesalahan orang, ada yang salah karena memang ia tidak tahu itu salah. Sebaliknya, ada yang tahu bahwa itu salah, namun ia tidak sanggup menghindari kesalahan tersebut. Juga ada yang salah karena terpaksa. Dan ada yang salah karena memang sering membikin kesalahan. Begitu seterusnya.
Kedua, kalau kita ingin mudah bergaul dengan orang lain maka kita harus senang mengingat kebaikannya dan berani mengakui kelebihannya. Yang dekat-dekat saja contohnya. Seperti saat seorang anak bergaul dengan ibunya. Saat anak marah, coba tulis kekurangan-kekurangan sang ibu. Setelah itu, coba tulis kelebihan-kelebihannya. Duh, kalau kita ingat, dari semenjak kita jabang bayi di perut ibu, terbayang itu beban berat yang beliau tanggung. Sembilan bulan, ibu kita berpayah-payah. Saat melahirkan kita saja sudah dalam posisi hidup dan mati. Belum lagi ketika lahir baru beberapa hari sudah menyediakan ASI-nya. Terus berlanjut hingga kita benar-benar besar.
Perhatikan ini: semakin banyak kebaikan yang kita pikirkan, insya Allah, hati kita melunak. Sebaliknya, makin banyak keburukan yang kita ingat-ingat, dendam kesumat mengemuka, dan hati pun mengeras.
Ketiga, mulailah lupakan jasa dan kebaikan diri. Sebab, semakin kita ingin dihargai, semakin kita ingin dihormati, semakin kita ingin dipuji, maka semakin kita akan sering sakit hati. Lupakan itu semua. Sebab bila kita menginginkan hal semacam itu maka potensi hati untuk berpenyakit itu akan muncul. Sadarilah, wahai saudaraku, penghargaan, penghormatan, dan pujian dari manusia itu kecil artinya.
Saya teringat nasihat salah seorang Proklamator Negara kita: Bung Hatta. Beliau pernah mengatakan, "Jadilah seperti garam dilautan, asin terasa tapi tidak kelihatan. Jangan seperti gincu; kelihatan tapi tidak terasa. Kita harus mulai berbuat sesuatu seperti beton: mengokohkan tanpa harus kelihatan. Seperti jantung, siang dan malam bekerja tanpa kelihatan".
Dan keempat, mari kita menyibukkan diri melihat kekurangan sendiri sebelum melihat kekurangan orang lain. Sebab, sehebat apapun perkataan kita, tidak ada harganya kalau itu tidak mulai dibuktikan oleh diri kita sendiri. Karena langkah perbaikan diri akan selalu membuahkan keteladanan dihadapan orang lain tanpa kita merasakannya. Coba renungkan, kalau masing-masing kita sibuk melakukan perbaikan diri, bersama-sama insya Allah akan tercipta tatanan keluarga, masyarakat, hingga ke bentuk negara yang baik pula.
Ingat, saat kita tidak sama antara kata dan perbuatan, maka saat itu pulalah jatuh wibawa kita. Sebaliknya, tanpa banyak berkata-kata namun kita sibuk dan gigih memperbaiki diri, itu juga insya Allah sudah berdampak banyak. Wallahu a'lam bishshawab.***
-------------------
Sumber : Waspada.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home